‘Pemekaran wilayah merupakan fenomena yang mengiringi
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Sebagian besar daerah yang
mengalami pemekaran berada di wilayah luar Pulau Jawa. Sejak awal reformasi
hingga akhir 2008, pertambahan daerah otonom di Indonesia sudah mencapai 203
buah. Jumlah itu terdiri dari 7 provinsi, 163 kabupaten dan 33 kota. Bahkan
dalam triwulan akhir tahun 2008, telah disetujui 12 daerah otonom baru.
Sehingga, jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 522 buah, yang terdiri dari
33 provinsi, 297 kabupaten dan 92 kota. "Sungguh disayangkan
terberituknya daerah baru itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan dan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Bahkan
sebaliknya, di hampir sebagian besar daerah otonom baru itu, pertumbuhan
kesejahteraan cenderung menurun, pelayanan publik cenderung stagnan, dan daya
saing daerah pun belum mengemuka," kata Mendagri Mardiyanto.(Pikiran
Rakyat,23/02/2009)
Jika dibandingkan dengan negara tetangga Filipina, jumlah provinsi di
Indoensia memang relatif lebih sedikit. Filipina hingga tahun 2002, memiliki 79
provinsi dari jumlah penduduk sebesar 86.241.697 jiwa dan luas daratan
diperkirakan 300.000 km. Anggota Komisi II DPR RI Idrus Marham berpendapat,
sebagian besar daerah hasil pemekaran pasca-reformasi gagal dan hanya sebagian
kecil yang memenuhi harapan. Karena itu, pemekaran daerah harus dihentikan
hingga ada kajian terbaik mengenai kewilayahan.
Usulan pemekaran yang terjadi sekarang lebih banyak karena prakarsa maupun
pernyataan orang tertentu. Jumlah terbanyak usulan pemekaran daerah selama ini
berasal dari Legislatif/kepala derah. Kenyataannya, keinginan atau usulan
pemekaran daerah selama ini minim dari kajian yang semestinya dilakukan.
Keinginan memekarkan wilayah sekarang ini sangat elitis dan cenderung
dipolitisir. Akibatnya, tujuan pemekaran wilayah itu lebih banyak akibat ambisi
kekuasan para elite. Pemekaran wilayah menjadi alat tawar menawar antara
masyarakat dengan tokoh yang ingin menjadi pemimpin di wilayah baru itu.
Mantan Menteri Keuangan Sri MuIyani merasa prihatin jika lahirnya provinsi, kabupaten
serta kota yang baru mengakibatkan ratusan miliar rupiah habis untuk membangun
kantor bupati, gubernur serta wall kota yang baru disertai kantor DPRD yang
baru hingga pembuatan baju seragam yang baru. "Saya sering diminta oleh
bupati dan wali kota baru untuk membantu membangun kantor perbendaharaan negara
yang baru dan kemudian kantor jaksa, polisi yang baru,akibat pemekaran itu.
Pada hal seharusnya dana itu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat serta memperbaiki pelayanan publik," kata Sri Mulyani. .(Pikiran
Rakyat,23/02/2009)
Banyak para ahli mengingatkan, banyaknya komplikasi yang timbul sebagai
akibat dari pelaksanaan pemekaran di Indonesia, maka persetujuan untuk dapat melakukan
pemekaran di masa mendatang perlu dilakukan secara ketat dan sangat hati-hati.
Untuk keperluan ini, maka kebijakan pertama yang perlu dilakukan adalah
menentukan jumlah provinsi, serta kabupaten/kota yang dapat dimekarkan sampai
tahun 2025 mendatang. Kajian ini perlu dilakukan agar pengambil keputusan, baik
eksekutif maupun legislatif, dapat menentukan sampai jumlah berapa sebaiknya
pemekaran daerah dapat dilakukan di Indonesia pada tahun 2025 mendatang. Khusus
untuk kajian bidang sosial ekonomi, maka jumlah provinsi maksimum untuk
Indonesia sampai tahun 2025 mendatang adalah tidak lebih dari 39 provinsi.
Jumlah provinsi yang telah ada di Indonesia sampai tahun 2009 adalah 33
provinsi.
Dengan demikian, masih terdapat peluang untuk melakukan pemekaran daerah
baru sebanyak enam provinsi lagi sampai tahun 2025 mendatang. Namun demikian,
persetujuan untuk mengizinkan pemekaran daerah itu harus dilakukan secara ketat
dan sangat hati-hati. Persetujuan daerah otonomi baru itu pun harus
memperhatikan dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, baik dari segi sosial,
ekonomi dan keuangan untuk daerah pemekaran baru maupun daerah induk serta
kepentingan nasional secara keseluruhan.
Menurut Pakar Otonomi Daerah Eko Prasojo (2007) Pemekaran memang tidak boleh
diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat menyebabkan inefisiensi
penggunaan keuangan negara. Sebab bagaimanapun, kekuatan keuangan negara
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki keterbatasan. Problem
pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol daripada
kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, pemekaran juga diartikan
sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan politik menjadi anggota
DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya
daerah otonom.
Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi baru kekuatan partai politik
di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda dengan daerah induknya.
Terkait dengan implementasi kebijakan PP 129/2000, bisa dikatakan bahwa
persetujuan politik pemekaran daerah sering berada "dalam ruang
gelap". Ukuran persetujuan lebih sering dilakukan secara administratif
oleh tim konsultan, sedangkan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya
untuk menolak pemekaran. Prosedur pemekaran daerah (OTDA ) pun diusulkan
sebaiknya berasal dari pemerintah dan tidak dari DPR, sehingga pembahasan
terhadap kelayakan bersama dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
dapat dilakukan dengan baik berdasarkan data dan informasi yang tersedia dari
kementerian terkait. Pengusulan itu pun harus memenuhi persyaratan administrasi
susuai dengan ketentuan yang berlaku yang menyangkut dengan surat persetujuan
dari pihak yang berwenang seperti DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan.
Sementara semakin jauh dari ibu kota daerah maka akan semakin tertinggal
pula daerah itu, sehingga para elite dari masyarakat yang berada di daerah yang
tertinggal itu berupaya untuk menghadirkan pemerintahan sendiri. Ketiga, dan
ini sering tidak diungkap sebagai alasan tertulis, adalah upaya untuk bagi-bagi
kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran elite di tingkat yang begitu lambat,
bahkan sejumlah elite daerah yang sudah keenakan di kursi kekuasaan dan
jabatan, terus mempertahankannya dengan berbagai cara, sehingga muncul
kecemburuan dari para elite lain yang juga haus kekuasaan. Alasan pertama dan
kedua tentu saja dapat kita benarkan baik secara sosiologis maupun secara
yuridis, sedangkan alasan ketiga yang mendominasi munculnya daerah-daerah
pemekaran baru adalah sebuah dosa politik yang dilakukan oleh elit politik
terhadap rakyatnya. Sebuah kesalahan memaknai otonomi daerah.
Konflik di antara para elite lokal itu dalam memperebutkan kekuasaan dan
jabatan sering tak bisa dihindari, termasuk di dalamnya melibatkan rakyat (arus
bawah) dalam wujud konflik horizontal (antara lain terbukti pada kasus Mamassa,
Sulawesi Selatan, dan Morowali, Sulawesi Tengah,Tapanuli Utara dll). Akibatnya,
dengan berbagai cara pula berupaya memekarkan daerah sehingga bisa memperoleh
jabatan atau kekuasaan di daerah baru itu. Apalagi bagi mereka yang sudah
berjasa dalam memperjuangkan daerah pemekaran, sudah memosisikan diri sebagai
pihak yang harus dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di
daerah baru itu. Pemekaran Daerah telah menguras enerji Pemerintah Provinsi dan
prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan daerah.
Pemekaran sering kurang memperhatikan aspek kemampuan
daerah (yang akan dimekarkan). Sebaiknya ketentuan tentang pemekaran harus lebih mengedepankan
faktor-faktor yang dimiliki daerah yang berkaitan langsung dengan kemampuan
daerah pemekaran untuk menyelenggarakan pelayanan publik lebih baik
dibandingkan dengan daerah induknya. Pemekaran saat ini lebih tinggi bobot
politiknya daripada aspek kondisi obyektif daerah. Harus ada audit independent
yang komprehensif yang mengevaluasi kelayakan pemekaran dan ada masa transisi
untuk pemekaran yang diawasi oleh daerah induk. Setelah menunjukkan kinerja
yang baik baru dimekarkan.
http://www.acehbaru.com/2015/08/menyoal-pemekaran-daerah-untung-atau-rugi/
ReplyDelete